Monday, April 9, 2007

Tafsir Tunggal


Sulistiyo Suparno


BOLEHKAH penyair menafsirkan puisi karyanya sendiri? Pertanyaan itu jadi perdebatan sengit dalam diskusi rutin Komunitas Pena Batang, beberapa waktu lalu.

Penyair Yoko Maska menilai puisi yang lahir dari rahim penyair bebas menemukan "kehidupan" sendiri. Semua orang boleh menafsirkan puisi itu sesuai dengan daya jelajah tafsir masing-masing. Namun, si penyair dilarang keras menafsirkan.

Saya pun teringat bunglon. Ketika hinggap di dahan, ia berwarna cokelat. Ketika hinggap di daun, ia berwarna hijau. Namun bunglon tak berhak mengklaim warna kulitnya adalah cokelat atau hijau.

Begitulah (mungkin) seharusnya puisi menempatkan diri. Maka, ketika penyair Maghfur Saan menafsirkan karyanya bagi peserta diskusi, Yoko memvonis puisi itu telah mati. Sebuah puisi telah mati di Batang dan pembunuhnya adalah sang pencipta, Maghfur Saan.

Diskusi memanas ketika Maghfur berpendapat penyair berhak menafsirkan puisinya untuk kepentingan bersama; agar orang lain memahami puisi itu. Sebab, tak semua orang paham makna puisi. Apalagi pemahaman tentang seni (puisi) di masyarakat berkembang, seperti Indonesia, masih sangat rendah. Penafsiran tunggal puisi adalah bagian dari pemasyarakatan puisi.

Pendapat Maghfur lebih bisa diterima peserta diskusi. Logikanya sederhana. Ketika seseorang bingung memahami makna puisi, dia akan bertanya pada orang yang lebih paham. Tak ada yang lebih paham makna puisi itu, selain si penyair bukan?

Bila si penyair terlalu angkuh menyimpan makna puisinya, dikhawatirkan orang bersikap masa bodoh pada puisi. Semua orang bisa seenak hati menciptakan puisi, lalu dengan pongah membebaskan orang lain menafsirkan puisi itu. Akan muncul banyak penyair palsu yang cuma pandai menumpuk kata tanpa makna.

Puisi adalah ruang terbuka yang bisa dimasuki semua orang dari berbagai strata sosial, ekonomi, dan pendidikan. Semua orang berhak bertanya bagaimana memahami, lalu menikmati ruang terbuka itu, pada siapa pun yang bisa memberikan penjelasan, termasuk sang kreator.

Tafsir tunggal puisi tak cuma menyebabkan puisi telah mati, tetapi juga membuat penyair telah mati. Itu pendapat Yoko, yang kini makmur sebagai kepala sebuah SMA.

Nah, itulah celah yang bisa dimanfaatkan penyair untuk menafsirkan puisinya. Sang penyair telah mati, maka dia telah menjadi orang lain dan bebas menafsirkan "mendiang" puisi karyanya.

Jadi, kematian puisi bukan disebabkan oleh tafsir tunggal, melainkan ketika orang tak lagi peduli pada puisi. Itu saja! (53)


Sumber: Suara Merdeka, 8 Maret 2007

No comments: