Monday, April 9, 2007

Diana dan Kartunis


Edhie Prayitno Ige


SEMARANG atau Jawa Tengah pernah jadi ibu kota kartun di Indonesia. Setidaknya dari Semarang muncul Jaya Suprana, Jitet Kustana, Prie GS, Koesnan Hoesie, dan beberapa kartunis lebih muda. Mereka selalu berjaya mengoleksi berbagai penghargaan internasional.

Kartun sebagai karya seni pernah begitu mengindustri di Semarang. Itos Boedi Santoso, misalnya, konon hidup cuma dengan mengandalkan honor dari berbagai media cetak di Tanah Air.


Mekanisme bawaan secara biologis dan psikologis menyebabkan manusia mampu tertawa. Agar bisa tertawa, lelucon bersifat auditif dan visual menemukan muara.

Tanpa tertawa dan lelucon, manusia masih mampu hidup. Namun kualitas hidup mengering, gersang, dan makin penuh derita. Tanpa kartun, manusia tetap mampu survive. Cuma kualitas peradaban pun jadi terbelakang.

Semarang atau Jawa Tengah pernah sangat berjasa meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dan mendorong kemajuan peradaban melalui karya para kartunis. Namun saat ini aura sebagai ibu kota kartun menghilang. Tak heran jika kualitas hidup manusia Semarang, dari pemerintahan hingga warga masyarakat, mengalami degradasi.

Alkisah, Diana, saudara kembar Appolo, yang sangat cantik menjadi Dewi Bulan yang hobi berburu. Tak heran jika dia dan Yupiter, sang ayah, selalu sibuk menghadapi lamaran bertubi-tubi.


Tak mau terlalu sibuk mengurusi lamaran, Diana memutuskan hidup selibat alias tidak akan menikah, ketika masih sangat muda. Karena telanjur bersumpah, padahal akhirnya jatuh cinta pada Endimion, Diana memutuskan membuat Endimion tidur selamanya agar bisa menciuminya.

Diana kemudian jatuh cinta kepada Orion, penggembala lain. Menyaksikan saudara kembarnya tak teguh memegang komitmen, Appolo mencari muslihat untuk mengenyahkan Orion.

Dia memanfaatkan keahlian memanah Diana dengan memintanya memanah titik hitam di laut, yang sesungguhnya adalah kepala Orion. Orion tewas terpanah. Diana pun menjadikan Orion gugusan bintang di langit.

Melihat regenerasi kartunis di Semarang dan Jawa Tengah, saya khawatir: jangan-jangan, para kartunis terhinggapi sindrom Diana. Berpuas diri dan memutuskan hidup selibat. Dengan hidup selibat, regenerasi kartunis pun terhenti.

Celakanya, kondisi itu diperburuk oleh pemangkasan halaman kartun di koran-koran. Tak mengherankan jika kualitas hidup di Semarang dan Jawa Tengah menurun dan menjadi sangat simpel: berburu uang. (53)


Sumber: Suara Merdeka, 22 Maret 2007

No comments: