Wednesday, March 28, 2007

Lemprakan Budaya

Toto Subandriyo

LEMPRAKAN. Kosakata bahasa tegalan itu berarti lesehan. Jadi, semua hadirin lesehan atau nglemprak. Nuansa tegalan itulah yang sangat kental terasa ketika Bupati Tegal Agus Riyanto menggelar hajatan "Lemprakan Budaya".

Menu acara adalah pembacaan puisi tegalan dan monolog, musik tegalan, dan pergelaran wayang srakal. Pokoknya Tegal abis.

Seniman amatiran hingga "maestro" seni budaya sekaliber Ki Enthus Susmono pun tampil. Hidangan berupa berbagai makanan khas Tegal, dari martabak Lebaksiu, tahu aci Randualas, hingga ponggol setan.

Kerja seni itu menyeruak ke tengah-tengah masyarakat Slawi yang sebelumnya hidup di "bumi gersang" kesenian. Saat ini, ekonomi pasar telah mencengkeram kehidupan masyarakat kota itu. Disadari atau tidak, kondisi itu melahirkan situasi yang oleh Max Weber disebut disenchantment of the world, proses pelunturan daya tarik dunia. Sebab, semua aspek kehidupan di bumi harus dihitung secara rasional.

Dehumanisasi terjadi karena sesuatu yang subjektif dapat diubah jadi objektif, kualitatif jadi kuantitatif. Politik ekonomi laissez-faire merambah semua sendi kehidupan. Penyelenggara setiap kegiatan, tak terkecuali seni budaya, selalu memperhitungkan laba-rugi dalam perspektif ekonomi.

Salah satu wujud dehumanisasi adalah kemerebakan bunuh diri beberapa tahun terakhir. Obat penawar untuk memecahkan kebuntuan itu antara lain pertunjukan seni budaya yang dapat diakses setiap warga masyarakat, tanpa dibatasi berbagai dimensi oposisi biner keduniawian: antara si kaya dan miskin, pemimpin dan rakyat jelata, priyayi dan golongan pidak pejarakan.

Namun, kesenian identik dengan keramaian, tata panggung dan audiovisual, tempat parkir luas, serta infrastruktur pendukung lain. Karena itulah, kehadiran gedung kesenian yang cukup representatif menjadi keniscayaan.

Bayangkan, enam jam nonsetop duduk di atas lantai beralas karpet tanpa sandaran. Tentu sangat capek dan tak nyaman. Namun itu terjadi pada acara "Lemprakan Budaya" di pendapa rumah dinas Bupati dan "Pentas Teater Empat Kota" di Gedung Korpri Slawi, beberapa bulan sebelumnya.

Kenapa saya dan ratusan penonton bertahan lesehan sejak pukul 20.00 hingga 02.00? Sebab, peristiwa budaya seperti itu sangat langka di Slawi dan sekitarnya. Jadi, datang sore hari saat gerimis dan pulang saat udara subuh dingin menggigilkan bukan rintangan. (53)

Sumber: Suara Merdeka, 19 Februari 2007

No comments: