Wednesday, March 28, 2007

Kesetiaan


Oleh Achiar M Permana



SRI Hermina, barangkali tak membaca Maslow. Karenanya, secara teoretis dia tak memahami konsep aktualisasi diri dari pakar psikologi kelahiran Brooklyn, AS, pada 1908 itu. Tapi pengalaman menggeluti seni ketoprak berpuluh-puluh tahun, mantan sripanggung pada 1960-an itu tahu pasti, kesenian merupakan pintu terbuka untuk proses menguarkan keberadaannya.


Ya, pengakuan dari orang lain atas perjalanan berkeseniannya, sedikit banyak akan menjadi recharge bagi baterai kreativitasnya. Maka, amat bisa dipahami, kegembiraan yang membuncah di dadanya tak bisa diredam, ketika ada (sedikit) perhatian yang diberikan padanya. Mongkog.


Tak soal, berapa rupiah yang diterimanya bersama penghargaan itu, pengakuan atas keberadaannya jauh lebih penting. Tak penting pula, bagaimana kelanjutan kehidupannya sesudah itu.


Itulah yang membuat saya nggregel, melihat dia menjadi bintang tamu pada talkshow ''Kick Andy'' di Metro TV, beberapa malam lalu. Wajah perempuan sepuh itu begitu bungah, begitu sumringah. Terlebih ketika dengan cerdik, kamera televisi menyorot close-up. Kegembiraan itu sepertinya hanya bisa diungkap dengan airmata.


''Maturnuwun, maturnuwun. Ternyata masih ada yang peduli dan memperhatikan seniman sepuh seperti saya,'' katanya di sesela air mata.


Sri Hermina hanyalah satu dari ribuan atau bahkan jutaan potret, yang menyusun mozaik kehidupan para seniman uzur. Di tengah kesulitan hidup, mereka menunjukkan kesetiaan tak terkatakan pada kesenian yang mereka geluti. Entah itu ketoprak, wayang orang, ludruk, atau kesenian tradisional lainnya.


Mereka tak mau takluk oleh ''kekejaman'' dunia hiburan, yang kini dikuasai televisi. Ada, ya benar-benar ada, seniman yang hanya beroleh Rp 1.000 atau Rp 2.000 sehari, lantaran tak banyak orang yang mendatangi tobong, untuk melihat lakon yang mereka mainkan. Bayangkan, kalau uang dari karcis dalam semalam hanya Rp 60.000 dan harus dibagi 60 orang seniman, berapa yang mereka dapatkan per orang?


Kisah para pegiat ketoprak Balekambang, Solo, meneguhkan kesetiaan itu. Tak jarang, mereka harus nyambi menjadi tukang parkir, penarik becak, atau jualan baju rombengan untuk menjaga agar kendile ora ngglimpang. menambal periuk. Padahal, malamnya berperan sebagai raja gung binathara atau satria gagah pideksa.


Ah, saya jadi teringat perbincangan dengan Sugiyanto Sirdi, seniman barongan asal Desa Triwil, Sinoman, Pati, sekitar empat-lima tahun silam. Dia begitu setia memimpin dan menghidupkan barongan, dari satu tanggapan ke tanggapan lainnya. Walau dengan honor tak seberapa. ''Ini sudah panggilan, sampun ginaris. Kula saderma nglampahi.'' (53)


Sumber: Suara Merdeka, 12 Februari 2007

No comments: